Jumat, 31 Maret 2017

Makalah Tafsir: MUTLAQ DAN MUQAYYAD, MUJMAL DAN MUBAYYAN, SERTA TA’RIF DAN TANKIR



MUTLAQ DAN MUQAYYAD, MUJMAL DAN MUBAYYAN, SERTA TA’RIF DAN TANKIR
A.      Mutlaq dan Muqayyad
1.        Pengertian
Secara etimologi mutlaq berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Sedangkan, secara terminologi atau istilah, terdapat beberapa pendapat dari para ulama. Seperti al-Khudhori menyatakan bahwa:
اَلْمُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
Artinya:
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal”
Pendapat lain mengenai pengertian “mutlaq” tidak jauh berbeda, Amir Syarifuddin mengutip beberapa definisi para ulama ushul fiqh, antara lain:
a.       Al-Amidi menyatakan bahwa:
هُوَالَّلـفْـظُ الدَّالُّ عَلىَ مَدْلُـوْلِ شَائِــعٍ فِى جِـنْـسِـــهِ
Artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.”
b.      Abu Zuhrah mengajukan definisi:
اَلَّلفْــظُ اْلمـُــطْلَـقُ هُوَالَّذِى يَـدُلُّ عَلىَ مَوْضُوْعِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَـــرٍ اِلىَ اْلوَاحِـدَةِ اَوِ اْلجَمْــعِ اَوِ اْلوَصْفِ بَلْ يَدُلُّ عَلىَ اْلمَـاهِــيَةِ مِنْ حَيْثُ هِيَ.
artinya:
“Lafal mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya”
Dari beberapa pendapat tersebut, senuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.[1]
Sedangakan pengertian muqayyad secara bahasa berarti terikat. Secara istilah, para ulama memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi. Namun, semuanya bertemu pada satu pengertian, yaitu suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa nas yang mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya pada ayat lain. Sebaliknya, yang muqayyad adalah sesuatu yang menunjuk kepada satu pengertian. Akan tetapi, pengertian tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat atau nas yang lain.
Nas yang mutlaq hampir mirip dengan nas yang umum, sebaliknya nas yang muqayyad mirip pula dengan nas yang khas. Contoh:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi "
(QS. Al-An’am(5): 145).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”
(QS. Al-Maidah(5): 3).
Ayat pertama disebut muqayyad mengenai hal keharaman makan darah yang mengalir, sedangkan ayat yang kedua disebut mutlaq sebab menyebutkan yang diharamkan itu adalah darah (tidak dijelaskan darah yang bagaimana). Seorang mufassir harus berprinsip bahwa pengertian ayat yang kedua harus didahulukan dari pengertian ayat pertama. Tegasnya ayat-ayat yang muqayyad (yang ada kaitanya) harus didahulukan dari ayat-ayat yang mutlaq.[2]
2.       Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1.     Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
2.        Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3.   Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam  hukumnya ataupun sebab hukumnya.
4.        Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
5.        Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
3.       Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
       Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlaqannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:

a.         Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.              Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.               Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
B.        Mujmal dan Mubayyan
            Ayat-ayat yang mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada suatu pengertian yang tidak terang dan tidak terperinci, atau dapat juga dikatakan suatu lafal yang memerluka penafsiran yang lebih jelas.
            Pengertian mubayyan secara bahasa adalah yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan secara istilah sebagaimana didefinisikan oleh al-Asnawi, yaitu “ mubayyan adalah lafazh yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan lafazh yang lainnya.
            Contoh ayat yang mujmal dan mubayyan adalah:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya:
“Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (Al-Baqarah(2): 110)
........حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya:
“.... hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar....”(QS. Al-Baqarah(2): 187)
            Pada ayat tentang perintah “mendirikan shalat dan membayar zakat” belum dijelaskan secara terperinci bagaimana cara melaksanakannya. Di sinilah peranan hadis menjelaskan sesuatu yang belum diatur dalam Al-Qu’an secar terperinci.
Pada ayat mengenai batas kebolehan makan dan minum di bulan Ramadhan sampai datang waktu fajar (minal fajri). Lafal minal fajri dianggap batas waktu yang disebutkan, sehingga dia dianggap sebagai ayat mubayyan.
Seringkali ke-mujmalan suatu ayat diterangkan dengan jelas dalam hadis-hadis Rasul sehingga dapat dirasakan bahwa antara Al-Qur’an dan hadis Rasulullah ada hubungannya satu sama lain, kait mengait, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Ayat yang mujmal tidak boleh langsung ditafsirkan begitu saja, akan tetapi harus dicari mubayyannya pada ayat-ayat lain, sebab kaidah ulama tafsir mengatakan:
الْقُرْآنُ يُفَسِّرُ بَعْضُهُ بَعْضًا
Al-Qur’an itu menafsirkan sebagian (ayat) akan sebagiannya (ayat yang lain)”
Bila tidak ada dalam Al-Qur’an, barulah perhatian kita aliahkan kepada as-Sunnah. Bila keduanya tidak memberikan penjelasan, barulah digunakn akl sehat (ra’yu). Ayat yang ditafsirkan oleh ayat lain disebut mufassar atau mufassal.

C.        Ta’rif dan Tankir
            Ta’rif dan tankir atau dikenal juga dengan ma’rifah dan nakirah. Kedua istilah ini terkait dengan kata benda (isim).
1.         Pengertian
            Ma’rifah merupakan ism masdar (bentuk kata benda) dari kata kerja عَرَفَ يَعْرِفُ yang artinya mengetahui, menetapkan, atau meneliti dan menganalisis. Dengan demikian ma’rifah dapat diartikan sebagai pengetahuan, penetapan, atau penelitian (analisis). Sedangkan pengertian ma’rifah secar istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
a.      Abdul Masih memberikan definisi dari ma’rifah sebagai nama yang menunjuk pada satu benda yang tertentu, seperti ar-rajul (laiki-laki itu), al-‘usfur (burung itu), dan lain sebagainya.
b.      ‘Ali Rida dalam karyanya menyebutkan bahwa ma’rifah itu adalah kata yang menunjuk kepada suatu nama atau benda yang tertentu.
c.         Al-Gulayaini menyatakan bahwa ma’rifah itu adalah kata yang menunjuk sesuatu yang sudah jelas.
Dari beberapa pengertian di atas, dapt disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifah adalah kata yang menunjuk kepada sesuatu tertentu, seperti nama atau benda yang dimaksud.
Sedangkan nakirah merupakan isim masdar (bentuk kata benda) dari kata kerja  يَنْكَرُ – نَكِرَ yang artinya bodoh atau tidak memahami, belum mengetahui. Dengan demikian, nakirah dapat diartikan sebagai kebodohan atau tiadanya pemahaman, keadaan belum mengetahui.[3]
Secara istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ahli bahasa, antara lain:
a.         ‘Abdul Masih mengemukakan bahwa nakirah adalah nama yang menunjuk pada satu benda yang tidak tertentu (bersifat umum)
b.      ‘Ali Rida dalam karyanya yang berjudul Al-Marja’ fil-Lughah al-‘Arabiyah mendefinisikan nakirah sebagai kata yang menunjuk pada sesuatu yang diberi nama, bersifat umum dan bukan khusus pada seseorang atau benda. Sebagai contoh, kata رَجُلٌ  yang menunjuk pada seseorang laki-laki siapa saja, dan tidak menunjuk pada seorang.
c.       Mustafa al-Gulayaini menulis bahwa nakirah itu adalah isim (kata) yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.
d.    Ibnu Malik al-Andalusi mengungkapkan bahwa nakirah itu adalah kata yang menunjukkan arti umum dari
     jenisnya, yang tidak dikhususkan pada sesuatu tertentu tertentu dan tidak pula khusus pada yang lainya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nakirah adalah kata yang menunjuk sesuatu yang bersifat umum dan tidak tertuju pada seseorang atau benda yang khusus.
2.         Kaidah-kaidah dalam Ma’rifah dan Nakirah
            Ma’rifah dan nakirah yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an sering kali engandung perbedaan makna yang dituju, sehingga makna (ma’rifah dan nakirah) pada suatu ayat terkadang berbeda dari maknanya yang terdapat pada ayat lain, walaupun kata tersebut sama. Pada sisi lain, penggunaan ma’rifah atau nakirah dalam sebuah ayat memiliki tujuan yang lebih dari maknanya yang terdapat pada ayat lainya. Dengan demikian, dalam memahami ma’rifah atau nakirah meti dipertimbangkan maksud yang sebenarnya. Hal yang sedemikian ini karena pada hakikatnya ada beberapa tujuan dalam penggunaan ma’rifah atau nakirah pada ayat-ayat Al-qur’an.
            Pembahasan dalam kaidah penafsiran adalah fungsi dan tujuan pemakaian kata ma’rifah dan nakirah dalam kalimat-kalimat Al-Qur’an. Berikut diantara fungsi ma’rifah dan nakirah:
a.         Ma,rifah
Pemilihan dan pemakaian sebuah kata dalam Al-Qur’an tidaklah kebetulan. Pemilihan dan pemakaian kata ini mengandung suatu maksud tertentu yang mengandung pesan-pesan yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, satu kata yang berbentuk ma’rifah berbeda tujuannya kata tersebut berbentuk nakirah. Imam az-Zarkasyi dan Imam al-Suyuti menyimpulkan sejumlah fungsi ma’rifah dalam Al-Qur’an, antara lain:
1)   Ta’rif dengan isim dlamir karena keadaan menghendaki demikian, baik dlamir mutakallim, mukhatab, ataupun gaib. Dalam bahasa arab seluruh dlamir adalah ma’rifah.
2) Ta’rif dengan isim ‘alam (nama) berfungsi untuk: Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar, yaitu dengan menyebut namanya yang has atau karena bertujuan untuk memuliakan atau menghinakan.
3)   Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk
a)    Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat.
b)   Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh.
c)    Menghinakan dengan menggunakan kata tunjuk dekat.
d)   Memulyakn dengan menggunakan kata tunjuk jauh.
e)  Peringatan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah.
4)   Ta’rif dengan isim mausul (kata penghubung), berfungsi untuk:
a)    Menghindari menyebut nama yang sebenarnya dengan tujuan untuk menutupinya.
b)   Menunjukkan arti umum.
c)    Meringkas kalimat
5)   Ta’rif dengan alif lam (ال), berfungsi:
a)    Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan.
b)   Mengetahui sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar.
c)    Sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu.
d)   Mencakup semua satuannya.
e)    Menjelaskan jenis karakteristik tertinggi.
f)     Menerangkan esesnsi, hakikat dan jenis.
b.        Nakirah
Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa tujuan antara lain:
1)      Untuk menunjuk kepada person atau orang tertentu.
2)      Untuk menunjuk pada species (nau’) tertentu.
3)      Untuk mengagungkan sesuatu.
4)      Untuk menunjuk makna banyak.
5)      Untuk yujuan merendahkan.
6)      Menunjuk makna sedikit atau sebagian.

BAB III
PENUTUP
A.        Keimpulan
Dari materi yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.     Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya pada ayat lain. Sebaliknya, yang muqayyad adalah sesuatu yang menunjuk kepada satu pengertian. Akan tetapi, pengertian tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat atau nas yang lain.
2.      Ayat-ayat mujmal adalah ayat yang meunjuk kepada suatu pengertian yang tidak terang atau tidak terperinci. Sedangkan mubayyan adalah sebaliknya.
3.    Ma’rifah adalah kata yang menunjuk kepada sesuatu tertentu, seperti nama atau benda yang dimaksud. Sedangkan nakirah adalah kata yang menunjuk sesuatu yang bersifat umum dan tidak tertuju pada seseorang atau benda yang khusus.
B.        Saran
          Karena begitu pentingnya Al-Qur’an dalam kehidupan ini, berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai bentuk ikhtiyar dalam menggapai keridhoan-Nya.

 
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Indonesia, Kementrian Agama , Al-Qur’an dan Tafsirnya,  Jakarta:  PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
Indonesia, Kementrian Agama. Tafsir-Ilmu Tafsir, Jakarta: Kementrian Agama 2014.


[1] Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 212.
[2] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:  PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 191-192.
[3] Luwis Ma’ruf, Al-Munjid fil-Lughah wal-A’lam, (Beirut: Al-Maktabah al-Katulikiyah, 1965), h. 836.


EmoticonEmoticon