Senin, 24 Juli 2017

Makalah Tauhid: Perbandingan Antar Aliran Tentang Pelaku Dosa Besar




BAB II
PEMBAHASAN
           
            Di dalam kalam persoalan yang pertama kali muncul adalah persoalan mengenai siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar.
A.                Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memberikan keputusan tentang persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung dengan watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadis.tidak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yaitu Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah SWT[1]:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ....
Artinya:
“......barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah (5): 44)

            Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), menurut semua sub sekte Khawarij, kecuali najdah, adalah kafir kafir dan akan disiksa di neraka selamanya.[2] Sub sekte khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yaang lebih “mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimananya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti mereka telah keluar dari Islam. Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainya.
            Sub sekte najdah tidak jauh berebeda dengan azaqirah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang secara berkesinambungan melakukan dosa kecil. Adapun dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinue, pelakunya tidak dianggap musyrik, tetapi hanya kafir. Namun jika dilakukan secara terus-menerus, ia menjadi musyrik.
            Walaupun secara umum sub sekte khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat, Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusiatanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainya menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam.[3]
            Lain halnya dengan pandangan subsekte azariqah. Mereka menganggap kafir, tidak saja kepada orang-orang yang telah melekukan perbuatan hina, seperti membunuh, berzina, dan lain sebagainya, tetapi juga terhadap semua orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka. Bahkan, orang Islam yang sefaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Dengan kata lain, orang azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.
            Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh subsekte An-Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar, tetap mendapat siksaaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga. Sementara itu, subsekte As-Sufriyah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di duniamseperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang berbuat dosa kategori kedua dipandang kafir.
B.                ALIRAN MURJI’AH
Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda pula.
Secara garis besar, subsekte khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.[4]
Di antara kalangan murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte al-jamiyah, as-salihiyah, dan al-yunusiyah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu saja atau dengan kata lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seeorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung kepada ukuran dosa yang dilakukanya. Masih terbuka kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Di antara subsekte murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya.
C.                ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawalioleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbadaanya bila khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamanya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidak patuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya mu’jilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
D.                ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar, aliran Asy’ari sebagai wakil Ahlu Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahlul Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berhina dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akherat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat untuk bertaubad. Hal ini bergantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya, atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi SAW. sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesaui dengan ukuran dosa yang dilakukanya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Jadi jelaslah bahwa Asy’ariyah sebenarnya mengambil posisi yang sam dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.
E.                ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran maturidiyah baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin, karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akherat tergantung pada apa yang dilakukanya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tanpa taubat terlebih dahulu, keputusan sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT, jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke nerka, tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orag yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di neraka`walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepadaa manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan Iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya nambah atau mengurangi sifatnya saja.
F.                 ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut aliran ini percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum taubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, syi’ah zaidiyah memang dekat dengan mu’tazilah. Ini bukan sesuatuyang anehmengingat Washil bin Atha’, salah seorang pemimpin mu’tazilah , mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha’.

BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dari penjelasan materi yang singkat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dari pendapat tiap-tiap aliran dapat diklasifikasikan mana saja aliran yang mempunyai pandangan yang sama dan yang mana saja aliran yang punya pandangan berbeda mengenai status mu’min yang berdosa besar.
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andaikata dimasukkan ke dalam neraka ia tidak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya, aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akherat ia akan dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. Mengenai hal ini kita melihat bahwa khawarij dan mu’tazilah berada di barisan yang sama meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tegas di antara keduanya. Khawarij memandang status pelaku dosa besar sebagai kafir bahkan musyrik. Oleh karena itu, ia mendapatkan siksaan serupa dengan orang-orang kafir. Sementara itu, mu’tazilah memandang status pelaku dosa besar sebagai fasik, yaitu suatu posisi netral di antara dua kutub (mukmin dan kafir). Oleh sebab itu, balasan yang diperolehnya kelak di akherat tidak sama dengan orang mukmin dan juga tidak serupa dengan orang kafir. Pelaku dosa besar akan disiksa selama-lamanya di neraka paling atas dengan siksaan yang lebih ringan ketimbang siksaan yang diterima oleh orang kafir.
Penting dicatat pula bahwa perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika ditinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat di klasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh khawarij dan mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.
B.                Saran
Dari penyajian makalah yang singkat ini mudah-mudahan dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita semua supaya kita mendapat  tambahan referensi. Supaya kita tidak berfikir kerdil dalam mensikapi segala perbedaan yang mungkin akan timbul dalam kehidupa bermasyrakat. Dan mudah-mudahan menjadi ilmu yang bermamfaat. Amiin ya Rabbal Alamiin.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Harun Nasution, 2008.Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.



[1] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Terj. Umar Basalim, Penerbit P2M. Jakarta, 1987, h. 6-7.
[2] Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa ikhlaf Al-Mushallin, Wiesbaden Frane Steiner Verlag GBHN, 1963 cet.II. h. 85.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, h. 14.
[4] Ibid, h. 14-15.


EmoticonEmoticon