PEMBAHASAN
Di dalam kalam persoalan yang
pertama kali muncul adalah persoalan mengenai siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang
masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan
aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa
besar. Kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai
pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar.
A.
Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas
dalam memberikan keputusan tentang persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung dengan
watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar
pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadis.tidak heran kalau aliran
ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka
memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yaitu Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman
Allah SWT[1]:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ....
Artinya:
“......barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.” (QS. Al-Maidah (5): 44)
Semua pelaku dosa besar (murtabb
al-kabirah), menurut semua sub sekte Khawarij, kecuali najdah, adalah kafir
kafir dan akan disiksa di neraka selamanya.[2]
Sub sekte khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yaang
lebih “mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi
siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimananya menjadi kafir
millah (agama), dan itu berarti mereka telah keluar dari Islam. Mereka
kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainya.
Sub sekte najdah tidak
jauh berebeda dengan azaqirah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang
secara berkesinambungan melakukan dosa kecil. Adapun dengan dosa besar, bila
tidak dilakukan secara kontinue, pelakunya tidak dianggap musyrik, tetapi hanya
kafir. Namun jika dilakukan secara terus-menerus, ia menjadi musyrik.
Walaupun secara umum sub
sekte khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing
berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut
subsekte Al-Muhakimat, Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan
Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah
dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk
orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusiatanpa
sebab, dan dosa-dosa besar lainya menyebabkan pelakunya telah keluar dari
Islam.[3]
Lain halnya dengan pandangan
subsekte azariqah. Mereka menganggap kafir, tidak saja kepada orang-orang yang
telah melekukan perbuatan hina, seperti membunuh, berzina, dan lain sebagainya,
tetapi juga terhadap semua orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka.
Bahkan, orang Islam yang sefaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah
kedalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Dengan kata
lain, orang azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan tidak
mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.
Pandangan yang berbeda
dikemukakan oleh subsekte An-Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang
tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa
besar, tetap mendapat siksaaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga
juga. Sementara itu, subsekte As-Sufriyah membagi dosa besar dalam dua bagian,
yaitu dosa yang ada sanksinya di duniamseperti membunuh dan berzina, dan dosa
yang tidak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang
yang berbuat dosa kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang
berbuat dosa kategori kedua dipandang kafir.
B.
ALIRAN MURJI’AH
Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat
ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte
murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan
tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda pula.
Secara garis besar, subsekte khawarij dapat dikategorikan dalam dua
kategori: ekstrim dan moderat. Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte
murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak
di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi
dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.[4]
Di antara kalangan murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah
subsekte al-jamiyah, as-salihiyah, dan al-yunusiyah. Mereka
berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu saja atau dengan kata
lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, bukan secara
demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seeorang
telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin
sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
di dalamnya, bergantung kepada ukuran dosa yang dilakukanya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan
neraka. Di antara subsekte murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu
Hanifah dan pengikutnya.
C.
ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam
diawalioleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran di atas, yaitu
mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi
kafir. Perbadaanya bila khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah
memelihara keimanan pelaku dosa besar, mu’tazilah tidak menentukan status dan
predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir.
Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan
kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa
tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan
itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar,
aliran mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran khawarij.
Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan mu’tazilah adalah segala
perbuatan yang ancamanya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa
kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidak patuhan yang ancamannya tidak
tegas dalam nas. Tampaknya mu’jilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar
bagi dosa besar maupun kecil.
D.
ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar, aliran Asy’ari sebagai wakil Ahlu
Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahlul
Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berhina dan mencuri.
Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu
dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akherat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia
meninggal dan tidak sempat untuk bertaubad. Hal ini bergantung kepada kebijakan
Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya, atau
pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi SAW. sehingga terbebas dari siksaan
neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesaui dengan
ukuran dosa yang dilakukanya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka
seperti orang-orang kafir lainya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai,
ia akan dimasukkan ke dalam surga. Jadi jelaslah bahwa Asy’ariyah sebenarnya mengambil
posisi yang sam dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak
mengafirkan para pelaku dosa besar.
E.
ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran maturidiyah baik samarkand maupun bukhara, sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin, karena adanya
keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akherat
tergantung pada apa yang dilakukanya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tanpa
taubat terlebih dahulu, keputusan sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT, jika
menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke nerka,
tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak
dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orag yang berdosa besar
itu tidak kafir dan tidak kekal di neraka`walaupun ia mati sebelum bertaubat.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepadaa manusia
sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang
yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik)
tidaklah menjadikan seorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu
cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurnaan Iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi
esensi iman, kecuali hanya nambah atau mengurangi sifatnya saja.
F.
ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut aliran ini percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar
akan kekal dalam neraka, jika dia belum taubat dengan taubat yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, syi’ah zaidiyah memang dekat dengan mu’tazilah. Ini bukan
sesuatuyang anehmengingat Washil bin Atha’, salah seorang pemimpin mu’tazilah ,
mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen mengatakan bahwa Zaid pernah
belajar kepada Wasil bin Atha’.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan materi yang singkat di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa dari pendapat tiap-tiap aliran dapat diklasifikasikan mana saja aliran yang mempunyai pandangan yang sama dan yang mana saja
aliran yang punya pandangan berbeda mengenai status mu’min yang berdosa besar.
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap
mukmin, menjelaskan bahwa andaikata dimasukkan ke dalam neraka ia tidak akan
kekal di dalamnya. Sebaliknya, aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akherat ia akan dimasukkan ke neraka dan
kekal di dalamnya. Mengenai hal ini kita melihat bahwa khawarij dan mu’tazilah
berada di barisan yang sama meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tegas di
antara keduanya. Khawarij memandang status pelaku dosa besar sebagai kafir
bahkan musyrik. Oleh karena itu, ia mendapatkan siksaan serupa dengan
orang-orang kafir. Sementara itu, mu’tazilah memandang status pelaku dosa besar
sebagai fasik, yaitu suatu posisi netral di antara dua kutub (mukmin dan
kafir). Oleh sebab itu, balasan yang diperolehnya kelak di akherat tidak sama
dengan orang mukmin dan juga tidak serupa dengan orang kafir. Pelaku dosa besar
akan disiksa selama-lamanya di neraka paling atas dengan siksaan yang lebih
ringan ketimbang siksaan yang diterima oleh orang kafir.
Penting dicatat pula bahwa perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa
besar, jika ditinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat di
klasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu
radikal diwakili oleh khawarij dan mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu
moderat.
B.
Saran
Dari penyajian makalah yang singkat ini mudah-mudahan dapat menjadi
tambahan ilmu bagi kita semua supaya kita mendapat tambahan referensi.
Supaya kita tidak berfikir kerdil dalam mensikapi segala perbedaan yang mungkin
akan timbul dalam kehidupa bermasyrakat. Dan mudah-mudahan menjadi ilmu yang
bermamfaat. Amiin ya Rabbal Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Harun Nasution, 2008.Teologi Islam:Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
[1] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam.
Terj. Umar Basalim, Penerbit P2M. Jakarta, 1987, h. 6-7.
[2] Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa ikhlaf Al-Mushallin, Wiesbaden
Frane Steiner Verlag GBHN, 1963 cet.II. h. 85.
[3] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, h. 14.
EmoticonEmoticon