Rabu, 26 Juli 2017

Makalah Hukum Syirkah



BAB II
PEMBAHASAN
 A.                Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
الإختلاط أى خلط أحد المالين بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
Artinya:
“ Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.”[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama diantaranya :
1.                       Menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.

2.                       Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.”[3]
3.                  Menurut syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.
4.                  Menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang  bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.
B.                 Dasar Hukum Syirkah
Syirkah  hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalil, diantaranya:[4]
1.                       Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Artinya:
Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
Artinya:
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2.           Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص.م .قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
                                                Artinya :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim.)
3.           Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.

C.                Rukun dan Syarat Syah Syirkah 
Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.[5]
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut :
1.    Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu;
a.        Berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan,
b.        Berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.   Semua yang bertalian dengan syirkah mal. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu;
a.       Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
b.        Benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.    Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan;
a.        Modal (harta pokok) harus sama,
b.       Orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan
c.        Orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.    Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
 Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.[6]
  Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.

D.                Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.                  Syirkah Al-Amlak
Syirkah milik (amlak) adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang tanpa akad syirkah. Jadi dapat dipahami bahwa syirkah amlak ini adalah suatu syirkah dimana dua orang atau lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Perkonsian ini tercipta karena warisan, wasiat, membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainya yang berakibat pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah milik terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.                  Syirkah Ikhtiyariyah, yaitu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang berserikat.
b.            Syirkah Jabariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka.

Hukum kedua syirkah ini adalah bahwa masing-masing orang yang berserikat seolah-olah orang lain dalam bagian serikatnya. Ia tidak boleh melakukan tasarruf terhadap barang yang menjadi bagian temanya tanpa izin temanya itu, karena meskipun mereka bersama-sama menjadi pemilik atas barang tersebut, namun masing-masing anggota serikat tidak memiliki kekuasaan atas barang yang menjadi bagian temanya.
2.                  Syirkah Al-‘Uqud
Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan keuntunganya. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan syirkah yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiah.
Syirkah ‘uqud terbagi menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu :
a.                  Menurut Hanabilah, syirkah ‘uqud ada lima macam:
1)                 Syirkah ‘inan,
2)                 Syirkah mudharabah,
3)                 Syirkah wujuh,
4)                 Syirkah ‘abdan, dan
5)                 Syirkah mufawadhah.
b.                  Menurut Hanafiah, syirkah ‘uqud ada enam macam, yaitu :
1)                  Syirkah amwal:
a)                  Mufawadhah,
b)                  ‘inan,
2)                  Syirkah a’mal:
a)                  Mufawadhah,
b)                  ‘inan,
3)                  Syirkah wujuh:
a)                  Mufawadhah,
b)                  ‘inan,
Berikut penjelasan dari macam-macam syirkah :
1.                  Syirkah ‘inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja dan modal. Syirkah ini dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunnah dan ijma’.

2.                  Syirkah ‘abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua orang atau lebih yang masing-masing hanya member konstribusi kerja tanpa member konstribusi modal. Syirkah ini juga disebut dengan syirkah ‘amal.
3.                  Syirkah wujuh
Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang ditengah masyarakat. Syirkah wujuh yaitu syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
4.                  Syirkah al-mudharabah
            Syirkah al-mudharabah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan satu pihak memxberikan konstribusi kerja sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal.
5.                  Syirkah al-mufawadhah
Syirkah al-mufawadah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah.
6.                  Syirkah al-amwal
        Syirkah al-amwal adalah persekutuan pihak pemodal atau lebih dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal bersama serta membagi keuntungan dan resiko kerugian berdasarkan kesepakatan.

E.        Syarat khusus atau ciri khas Syirkah
1.    Syirkah al-amwal, dalam syirkah ini modal harus dilakukan ketika melakukan kontrak atau bisnis, percampuran modal bukanlah merupakan syarat syirkah, karena syirkah dapat terjadi hanya dengan mengucap akad. Ra’sul mal (modal) berupa uang bukan komoditas yang mungkin akan berbeda nilainya.
2.      Syirkah al-mufawadhah
a.                  Setiap ‘aqaid harus ahli dalam perwakilan dan jaminan.
b.                  Ada kesamaan modal.
c.                  Kesamaan pembagian keuntungan.
d.                 Hendaknya mengucapkan kata mufawadhah.
3.      Syirkah ‘inan, apabila salah satu persyaratan syirkah mufawadhah berkurang maka syirkahnya berubah menjadi syirkah ‘inan.
4.     Syirkah wujuh apabila syirkah ini berbentuk mufawadhah, hendaklah yang bersekutu itu ahli dalam memberikan jaminan dan masing-masing harus memiliki setengah harga yang dibeli, keuntungan dibagi dua dan ketika akad harus menggunakan kata mufawadahah. Sedangkan jika berupa ‘inan tidak di syaratkat harus memenuhi syarat diatas, keuntungan harus berdasarkan kadar tanggungan. Jika meminta lebih, maka akad batal.
5.      Syirkah a’mal atau abdan  jika berupa mufawidhah harus memenuhi persyaratannya. Akan tetapi jika betbentuk ‘inan, hanya disyaratkan ahli dalam perwakilan saja.
6.      Syirkah mudharabah, modal yang digunakan hanya disediakan oleh satu pihak pemodal dan pihak yang lain hanya menjalankan bisnisnya karna berperan sebagai ahli berbisnis.

F.         Syirkah dalam Kontek Lembaga Keuangan Syari’ah atau Dunia Bisnis
         Dari sekian banyak dan variasi syirkah, hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan diaplikasikan dalam perbankan syari’ah. Syirkah ini biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang ditelah disepakati untuk bank.
BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
         Syirkah atau perkongsian, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu.
           Syirkah juga merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama. Syirkah secara umum terbagi menjadi dua yaitu syirkah al-amlak dan syirkah ‘uqud.
           Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ‘ulama, menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan qabul. Adapun yang lain menambahkan seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta.

B.                Saran
Setelah mempelajari materi tentang “Hukum Syirkah”, diharapkan pembaca dapat mengaplikasikan muamalah tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.



[1] . Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.183
[2] . Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010), hal.127
                [3] . Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.183
[4] . Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.200
   [5] . Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010), h.127
[6] . Ibid. h. 83


EmoticonEmoticon